Kamis, 23 Oktober 2008

Pokok-Pokok Perubahan PPN / PPn BM

Usulan Perubahan Terhadap Beberapa Ketentuan PPN / PPn BM


Pendahuluan
Saat ini DPR sedang membahas usulan perubahan yang diajukan pemerintah terhadap UU PPN/PPn BM No.8/1983 s.t.d.t. dengan UU PPN/PPn BM No.18/2000. Prinsisp-prinsip yang mendasari usulan perubahan antara lain (1) Memberikan kepastian hukum (2) Menyederhanakan sistem PPN (3) Mengurangi biaya kepatuhan (4)Meningkatkan kepatuhan
Paper ini membahas usulan perubahan sebatas pada ketentuan PPN yang telah ditetapkan bukan terhadap RUU PPN yang telah diajukan pemerintah, misalnya usul penyetoran kembali PM Masukan oleh Pengusaha yang gagal produksi, penggunaan prinsip accrual untuk Pajak Keluaran dan cash basis untuk Pajak Masukan, dll.

Pembahasan
1. PPN atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud seharusnya sama dengan PPN atas ekspor BKP yaitu sebesar 0%.
PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu, barang dan jasa yang tidak dikonsumsi di dalam Daerah Pabean Indonesia seharusnya tidak dikenakan PPN dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Ekspor Barang Kena Pajak telah dikenakan tarif 0%. Salah satu tujuannya adalah untuk mendorong kegiatan ekspor BKP. Hal ini, seharusnya berlaku juga untuk Jasa Kena Pajak dan BKP Tidak Berwujud yang dimanfaatkan diluar Daerah Pabean Indonesia (ekspor) sehingga tarif PPN ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud 0%. Rasional lainnya adalah agar terdapat kepastian dan konsistensi perlakuan PPN terhadap Pajak Masukan atas perolehan JKP tersebut yaitu agar dapat dikreditkan untuk kemudian dilakukan kompensasi atau restitusi jika terdapat kelebihan bayar PPN. Untuk mendorong ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud dan menambah daya saing.
Memang sangat sulit bagi petugas pajak untuk menentukan dan memastikan bahwa JKP tersebut dimanfaatkan diluar Daerah Pabean Indonesia. Karena proses produksi JKP dapat dilakukan di dalam DPI. Dan biasanya antara proses produksi JKP dan pemanfaatannya terjadi secara bersamaan, sifat khusus yang dimiliki jasa dibanding barang.
Untuk meminimalisasi celah pajak yang dapat digunakan untuk tujuan manipulasi pajak, maka pengenaan PPN 0% atas ekspor JKP sebaiknya dilakukan dengan cara membuat pengelompokkan jenis jasa. Ada jasa yang memang saat dilakukannya dan saat pemanfaatannya terjadi secara bersamaan dan tidak dapat dipisahkan oleh border maka PPN ekspor 0% dikenakan bila JKP dilakukan dan dimanfaatkan di luar DPI. Untuk jasa yang saat dilakukannya dan pemanfaatannya dapat dipisahkan oleh border maka PPN 0% dikenakan walaupun JKP dilakukan di dalam Daerah Pabean Indonesia. Contoh jasa jenis kedua adalah Jasa Call Center yang dilakukan di Indonesia tetapi untuk memenuhi konsumsi luar negeri, Jasa Makloon (PKP yang menghasilkan dan melakukan ekspor BKP atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean)

2. Retur PPN Jasa
Retur jasa belum diatur dalam UU PPN. PPN atas penyerahan JKP yang tidak sepenuhnya dilakukan tetapi sudah sepenuhnya dipungut seharusnya dapat dikembalikan. Alasan perubahan adalah agar paralel dengan perlakuan retur BKP.

3. Perlakuan PPN atas jasa keuangan syariah seharusnya diperlakukan sama dengan jasa keuangan non-syariah. Jasa keuangan meliputi jasa perbankan dan jasa keuangan lainnya. (lebih spesifik murabahah)
Kasus yang diperdebatkan adalah transaksi murabahah. Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah (memiliki dahulu) kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase. Jika seseorang melakukan penjualan komoditi/barang dengan harga lump sum tanpa memberi tahu berapa nilai pokoknya, maka bukan termasuk murabahah, walaupun ia juga mengambil keuntungan dari penjualan tersebut. Penjualan ini disebut musawamah.
Murabahah adalah salah produk terlaris dan andalan dari perbankan syariah. Data menunjukkan bahwa transaksi perbankan syariah tidak kurang dari Rp21,920 triliun dengan komposisi terbesarnya adalah murabahah yakni Rp13,340 triliun atau sebayak 60,86 persen (Republika, 4/2 sebagaimana dikutip Nursanita Nasution)
Transaksi dengan skema murabahah masih dikenakan PPN yaitu ketika bank membeli asset dari supplier dan ketika bank menjual asset tersebut kepada nasabahnya. Bila bank syariah adalah PKP maka akan terdapat mekanisme PK-PM. Sebenarnya tidak terjadi pengenaan pajak berganda, yang ada adalah tambahan PPN kepada nasabah karena value added (yaitu margin keuntungan) oleh bank syariah. Sehingga secara total PPN yang harus dibayar nasabah menjadi lebih besar dibanding dengan skema pembiayaan oleh perbankan konvensional dengan penetapan keuntungan melalui bunga.
Dengan pertimbangan bahwa baik perbankan syariah dan perbankan konvesional merupakan institusi intermediary maka seharusnya terdapat perlakuan yang sama yaitu tidak ada PPN atas bunga dan margin atas produk fungsi intermediary. (bunga diperoleh bank non-syariah, margin keuntungan diperoleh bank syariah).
Pemberlakuan hanya satu kali pajak dalam pembiayaan syariah telah dilakukan oleh banyak negara lain, contohnya. Amerika Serikat, yang secara langsung melakukan legal adjustment (penyesuaian hukum) terhadap masalah ini, melalui Office of the Comptroller of the Currency (OOC ), sebagai pemilik otoritas yang bertanggung jawab mengatur urusan moneter di negara itu, langsung mengeluarkan dua Interpretative Letters, yakni No 806 dan 867 yang berisi tentang transaksi murabahah dan ijarah, dengan catatan tertentu dapat dikecualikan dari ketentuan yang disebutkan pada National Bank Act 1864 tersebut. (Shirley Chiu and Robin Newberger, 2006 sebagaimana dikutip Nursanita Nasution). National Bank Act of 1864 di Amerika Serikat secara tegas melarang industri perbankan melakukan transaksi jual beli. Hal ini jelas merupakan hambatan utama bagi perbankan Islam. Dan ternyata perkembangannnya adalah perbankan Islam menjadi sangat diminati, terutama dalam program home financing. Ini karena praktik itu jauh lebih baik dibandingkan dengan melalui skim mortgage yang konvensional. Demikian juga dengan Singapura dan Inggris yang telah menghapus pajak atas transaksi murabahah dan ijarah.
Seharusnya Indonesia juga membebaskan PPN atas transaksi murabahah sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara maju dengan membuat ketentuan khusus (lex specialis). Pertimbangan utama adalah untuk pengembangan ekonomi syariah, menarik investor, dan mayoritas penduduk adalah muslim.

4. Penyerahan BKP dalam rangka penggabungan usaha (merger) seharusnya tidak dikenakan PPN
Merger adalah penggabungan usaha dari dua badan usaha atau lebih dengan tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan membubarkan badan usaha lainnya yang menggabung.
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka penggabungan usaha menurut ketentuan UU PPN saat ini terutang PPN. Hal ini bertujuan untuk membantu cash flow perusahaan, kemudahan administrasi, dan mendorong Pengusaha untuk bergabung untuk memperbaiki kinerja perusahaan, dan masih terdapat kesinambungan kegiatan usaha dari perusahaan yang lama ke perusahaan yang baru. Pembebasan PPN ini dilakukan sepanjang pihak-pihak yang melakukan penggabungan usaha (merger) adalah Pengusaha Kena Pajak.

5. Menghapus kata “dapat dikreditkan” yang menjadi syarat pemungutan dalam ketentuan sbb:
Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. (Pasal 16D), dan
Persediaan BKP dan aktiva yg menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.

sehingga semua penyerahan tersebut di atas dikenakan PPN baik PPN pada saat pembelian dipungut maupun tidak dan dapat dikreditkan maupun tidak. Rasionalnya adalah pada prinsipnya semua barang adalah BKP, termasuk barang yang atas pembeliannya tidak membayar PPN, sehingga atas penjualannya dikenakan PPN. Pengenaan PPN untuk menagih kembali PM yang telah dikreditkan tidak relevan lagi. Hal ini dilakukan untuk memperluas objek PPN.

6. Pengkreditan Pajak Masukan
PM yang dapat dikreditkan harus memenuhi syarat formal dan material. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan manipulasi pajak yaitu terdapat bukti formal pembayaran PPN tetapi sebenarnya tidak ada transaksi penyerahan BKP/JKP, dan mencegah penggunaan faktur pajak fiktif.

7. Beberapa fasilitas PPN dan PPn BM yang saat ini telah diberikan, ketentuan ini seharusnya masuk dalam UU PP, seperti:
1. PPN dan PPn BM dibebaskan bagi perwakilan negara asing (timbal balik)
2. impor barang-barang yg berdasarkan UU Kepabeanan dibebaskan dari Bea Masuk,
3. Impor dan penyerahan BKP dan JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai bantuan LN.
4. Impor sementara
Alasan perubahan adalah memberikan dasar hukum dan kepastian hukum bagi fasilitas-fasilitas yang telah dan yang akan diberikan.



Referensi

UU PPN/PPn BM No.8/1983 s.t.d.t. dengan UU PPN/PPn BM No.18/2000 dan peraturan pelaksanaannya
http://id.wikipedia.org/wiki/Murabahah
http://www.pk-sejahtera.org/, Nursanita Nasution, Pajak Berganda, Masalah Yang Tidak Tuntas Dalam UU Perbankan Syariah,

Minggu, 24 Agustus 2008

SIT ASSIGNMENT

Kelas: SIT 47-A
no. daftar hadir: 18
lecturer: Surahyo, B.Eng, M.Eng.Sc


MODERNISASI ADMINISTRASI PERPAJAKAN:
Upaya Menyelaraskan Business Process, People dan IS
di Direktorat Jenderal Pajak



Pendahuluan

Ada beberapa faktor yang mendorong modernisasi dilingkungan DJP antara lain adanya komitmen pimpinan untuk melakukan perubahan, adanya dorongan perubahan dari internal DJP yang semakin kuat, adanya tekanan dari stakeholders, dan adanya persepsi publik yang masih negatif terhadap kinerja DJP. Oleh karena itu perlu adanya perubahan paradigma di DJP. Perubahan paradigma itu paling tidak meliputi client oriented, equal treatment, simplifikasi, kepastian hukum, efisiensi, IT/IS based, dan good governance.

Konsep dari modernisasi administrasi perpajakan DJP adalah adanya pelayanan prima dan pengawasan intensif dengan pelaksanaan prinsip-prinsip good governance. Adapun tujuan modernisasi yang ingin dicapai adalah tingkat kepatuhan pajak yang tinggi, tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi dan tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi.

Kontinum modernisasi administrasi perpajakan adalah Organisasi, Business Process, Teknologi Komunikasi dan Informasi, Sarana dan Prasarana, dan Manajemen SDM:




Business Process Redesign


Perubahan konfigurasi struktur organisasi DJP yaitu dari struktur berdasarkan jenis pajak menjadi struktur berdasarkan fungsi menuntut perbaikan proses bisnis. Peleburan dilakukan terhadap tiga tipe kantor yaitu Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan (KARIKPA), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) menjadi satu yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kemudian KPP diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu Large Tax Office (LTO), Medium Tax Office (MTO) dan Small Tax Office (STO). Masing-masing tipe memiliki perbedaan ruang lingkup pelayanan. Problem yang terkait dengan BPR antara lain uraian jabatan, program kerja, dan sistem dan prosedur yang ada belum mencerminkan dinamika proses dan kebutuhan kerja DJP yang baru. Banyak modifikasi proses bisnis lama yang sudah berjalan maupun proses baru yang harus segera diadopsi pada platform organisasi DJP yang baru. Hal-hal yang dimodernisasi dalam proses bisnis DJP meliputi: automatic reporting, complaint center, simplifikasi formulir, risk based analysis, office automation, penyederhanaan SOP, Manajemen database yang handal, pengembangan model kepatuhan.

Fokus perhatian BPR meliputi:
  • Proses identifikasi business process harus merangkum seluruh pekerjaan (fungsi-fungsi proses tidak ada yang hilang)
  • Keterkaitan proses bisnis (work flow) dan pelaporan (information flow) antar unit horizontal dan vertikal dapat diketahui dan didefinisikan
  • kebutuhan desain informasi untuk keperluan analisis dan pengambilan keputusan dapat diukur dan diidentifikasi
  • kebutuhan SDM, IT/IS pada setiap unit dapat diprediksi
  • perbaikan manajemen database
  • proses bisnis yang perlu di-redesign dapat diidentifikasi
Bagan evolusi sistem administrasi perpajakan DJP:




Tabel identifikasi proses bisnis DJP:




People


Jumlah karyawan DJP mencapai 30.000 orang, dengan demografi yang sangat beragam. Program modernisasi selama ini lebih menitikberatkan pada aspek organisasi, sistem dan prosedur, dan IT/IS. Perubahan aspek people atau SDM pada sistem modern antara lain:
  • Fit and proper test, untuk mengetahui attitude dengan penekanan pada kemampuan akademik dan ketahanan bekerja.
  • Adanya remunerasi yang dikaitkan dengan capaian kinerja karyawan. Namun sebatas pada sitem grade.
  • Pelaksanaan kode etik yang tegas dan konsisten.
Aspek manajemen SDM yang belum jelas meliputi: career path, reward and punishment, sistem mutasi dan promosi, pendidikan dan pelatihan. Secara umum masih mengacu pada sistem yang diterapkan pada unit pemerintah yang lain.

Bagan alur pengembangan SDM di DJP:



IT/IS: Implementasi, Problem dan Analisis


A. DJP IT Milestones

2002
  • Pembangunan eMP3. Modul untuk pengawasan pembayaran pajak PPH, PPN, Pajak Lainnya (tidak termasuk PBB)
  • Pembangunan Intranet DJP. Beberapa aplikasi dapat dibuka melalui Intranet DJP seperti matching data Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, matching data PEB (Ekspor Barang) dari Ditjen Bea Cukai
  • Pembangunan Data Center
  • Pembangunan RLTO, LTO (large tax office) dengan SAPT
  • Seluruh DJP terhubungkan dengan e-TR
2003
  • Pembangunan e-Reg (e registrasi untuk NPWP)
  • Pembangunan e-SPT (tax return dalam bentuk soft copy)
  • Pembangunan e-Filling (penyampaian SPT melalui internet)
  • Implementasi RLTO/LTO/eSPT/MP3 dan Portal Intranet
2004
  • Pembangunan BCP (Business Continuity Process), SIDJP
  • Pembangunan Server & Storage consolidation, DRC (disaster recovery center)
  • Pembangunan integrated Database & IT infrastructure
  • Mobile Access, e-Bank Data
  • SAFE (Secure Architecture for Enterprise)
2005
  • Pembangunan ODS (Operational Data Storage)
  • Pembangunan Bisnis Inteligent
  • Pembangunan sistem report, DSS, dan OLAP (On Line Application Process)
  • Sentralisasi SIDJP
  • Implementasi replikasi SIDJP
  • Sipeta (Sistem Pelacak Data)
2006
  • Pengembangan Retrieval Engine
  • Implementasi Replikasi SIDJP ke-2
  • Pengembangan eData
  • Implementasi eSPN (MPN, Modul Penerimaan Negara yang terintegrasi dengan Ditjen Perbendaharaan dan lainnya), pengganti MP3
  • Penggabungan Server Dit PBB dan Data Center DJP
2007
  • Pembangunan DPC (Pusat Pengolahan Data dibeberapa lokasi di Indonesia, terutama pengolahan data SPT seluruh WP)
  • Pengembangan Processing Engine
  • Implementasi Replikasi SIDJP ke-3
  • Pengembangan eRequest
  • Pengembangan eTaxPayer Account
2008
  • Modernisasi seluruh Indonesia
  • Mobile Access
  • Establishment:
  1. Transparansi Data (one and the only one data)
  2. Standardisasi Peleyanan Pekerjaan
  3. Information Driven
2009
  • Pencapaian Tax Coverage Ratio
Bagan DJP IT Milestone:



B. Implementasi IT/IS


Implementasi IT/IS di DJP dimulai tahun 1990-an yaitu penerapan NPCS, terbatas pada pengawasan pembayaran pajak.

Periode sebelum reorganisasi. Sebelum reorganisasi (belum ada penggabungan fungsi dan belum ada klasifikasi kantor menjadi tiga yaitu LTO, MTO, STO, dan STO pada kanwil khusus) masing-masing kantor memiliki sistem informasi sendiri dan kantor pusat DJP tidak mengintegrasikan sistem yang ada:
  • KP PBB menerapkan Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) sejak 1995. SISMIOP memuat info rinci subjek dan obyek PBB. Kemudian SISMIOP dikombinasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) menjadi smart map. Data dalam SISMIOP terpetakan oleh SIG.
  • KARIKPA menerapkan SIMPP/Sistem Informasi Manajemen Pemeriksaan Pajak.
  • KPP menerapkan Sistem Informasi Perpajakan (SIP) berbasis oracle untuk menggantikan NPCS. Sistem ini terus diperbaiki dan dikembangkan. Sampai saat ini, SIP masih diterapkan pada sebagian besar unit kerja DJP. Ada dua jenis SIP yaitu:
  1. SIP tanpa modifikasi, digunakan pada kantor yang administrasinya belum modern.
  2. SIP Modifikasi (SIPMod), SIP dimodifikasi dan tampilannya dalam bentuk Web. Digunakan pada tahap awal penerapan administrasi modern sebelum beralih ke SIDJP.
Periode reorganisasi. Reorganisasi dilakukan secara bertahap dan terbagi dalam beberapa wilayah kerja. Pembentukan Large Tax Office/LTO hanya di Jakarta. Setiap kantor wilayah DJP dibentuk satu Medium Tax Office/MTO dan beberapa Small Tax Office/STO, dan adanya Kanwil Khusus dengan beberapa KPP khusus di Jakarta. Klasifikasi ini berdasarkan size Wajib Pajak dan jumlah kontribusi pajak yang disetorkan ke negara. 92% penerimaan nasional dari pajak diadministrasikan oleh LTO, MTO dan Kanwil khusus, sisanya oleh banyak STO yang tersebar di seluruh Indonesia. Implementasi IT/IS sebagai berikut:
  • SAPT (Sistem Aplikasi Pajak Terpadu) dan SIMPP diterapkan pada 2 kantor LTO dan KPP BUMN. SAPT pada dasarnya memiliki kesamaan dengan SIDJP. Rencananya mulai tahun 2009 SAPT akan diganti dengan SIDJP. Database SAPT ada di Kanwil LTO.
  • MTO dan KPP pada Kanwil khusus mengaplikasikan SIDJP dan SIMPP. Pada LTO, MTO dan KPP Khusus sistem tidak melayani PBB, jadi tidak mengaplikasikan SISMIOP/SIG.
  • STO mengaplikasikan beberapa sistem informasi yaitu SIPMod, SIDJP dan SISMIOP/SIG, dan SIMPP. Pelaksanaannya adalah sebagai berikut, untuk tahap awal modernisasi konfigurasi sistem informasi adalah SIPMod-SISMIOP/SIG-SIMPP. Pada tahap berikutnya SIPMod diganti SIDJP sehingga konfigurasi sistem informasi menjadi SIDJP-SISMIOP/SIG-SIMPP. Ketiga sistem informasi tersebut belum terintegrasi. Masih dalam upaya penyatuan.
  • Database SIDJP ada di Kantor Pusat DJP, SAPT ada di Kanwil LTO.
  • Direncanakan seluruh tipe kantor akan menerapkan SIDJP.
Selain sistem informasi, juga dikembangkan aplikasi yang melengkapi penerapan sistem informasi yang ada yaitu:
  • e-SPT, formulir SPT dalam bentuk soft copy kecuali untuk induk SPT yang masih harus disampaikan hard copy-nya.
  • e-filling, penyampaian SPT secara on-line
  • e-Reg/e-registration, aplikasi pendaftaran NPWP secara on-line
  • MPN/modul penerimaan negara (sebelumnya MP3) untuk memonitor pembayaran pajak berisi informasi rinci tentang pembayaran pajak. Modul ini terintegrasi dengan unit Eselon I lainnya.
  • aplikasi PK-PM, matching Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan antar Wajib Pajak. Aplikasi ini dapat mengurangi beban kerja secara manual yaitu klarifikasi faktur pajak dan dapat digunakan untuk analisis transaksi WP sampai beberapa level (transaction flow)
  • aplikasi kriteria seleksi untuk pemilihan/penentuan pemeriksaan WP berdasarkan tingkat risiko.
  • situs internet DJP, mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan kepada pihak eksternal.
  • intranet DJP, sarana komunikasi internal DJP dan beberapa applikasi juga melalui portal ini antara lain aplikasi PK-PM, data PEB dari Bea Cukai. Porta dapat menjadi media pembelajaran yang sangat baik bagi karyawan di DJP antara lain pengembangan knowledge base berkaitan dengan perpajakan.
Pengembangan SIP, SIPMod, SISMIOP-SIG, SIMPP dilakukan oleh tim IT DJP. Sementara SAPT dan SIDJP dibuat oleh vendor. Semua sistem menggunakan teknologi database Oracle. Untuk SAPT-oracle application, SIDJP-oracle form. SAPT dikembangkan dalam waktu 1 tahun dan SIDJP dikembangkan dalam waktu 6 bulan.

C. Problem dan Analisis

Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dalam penerapan IS antara lain:
  1. Sistem informasi belum terintegrasi.
  2. Pengembangan IS oleh vendor hanya fokus untuk menggatikan SIP
  3. Terdapat masalah pada migrasi data dari SIP/SIPMod ke SIDJP
  4. Inefisiensi pemrosesan data dan data redundancy
  5. Transfer of knowledge dan source code SIDJP tidak dilakukan dengan baik oleh vendor.
IS Belum Terintegrasi, Pengembangan IS Parsial. Pada awalnya, pengembangan IS yang dilakukan DJP dilakukan oleh masing-masing Direktorat terkait, misalnya SISMIOP-SIG oleh Dit PBB, SIP oleh Pengolahan Data dan Informasi Kantor Pusat. Hal ini terjadi karena memang pada awalnya struktur organisasi berdasarkan jenis pajak.

SAPT. Pengembangan SAPT dimaksudkan untuk mendukung proses bisnis pada LTO. LTO yang menangani WP terbesar di Indonesia dioperasikan tahun 2002. LTO adalah pilot project modernisasi administrasi perpajakan di Indonesia yang juga disupervisi oleh IMF. LTO membutuhkan sistem informasi yang lebih baik dibanding SIP. Keunggulan SAPT adalah pada sistem terdapat work flow dan case management. Benefit dari work flow dan case management antara lain:
  1. Bagi WP: memperjelas status case, memperbaiki kualitas dan waktu pelayanan, akses lebih mudah karena melalui agent/AR
  2. Bagi LTO: meningkatkan pengawasan terhadap produktifitas pekerjaan, memperbaiki pengawasan terhadap manajemen akses data.
  3. Bagi Agent/Employees: meningkatkan fleksibilitas dan mempersingkat waktu kerja, kemudahan dalam mengorganisasikan pekerjaan.
  4. Bagi Pimpinan LTO: mempermudah dalam pengambilan keputusan, mempunyai akses tetap terhadap setiap case, mempermudah pengawasan terhadap penyelesaian setiap case yang diproses. Case bisa berasal dari permohonan WP maupun case yang di-generate oleh petugas terkait.
  5. Tersedianya data statistik yang dibutuhkan untuk menganalisa: biaya, beban kerja, peak period.
SIDJP. Ketika melakukan modernisasi administrasi dan penggabungan fungsi, yang terjadi hanya memindahkan SIP, SMPP, dan/atau SISMIOP-SIG kedalam satu unit kantor yaitu KPP. Pengembangan SIDJP oleh vendor hanya fokus untuk menggantikan SIP. Sedangkan fungsi IS SIMPP: pemeriksaan dan penyidikan, SISMIOP-SIG: pelayanan PBB tidak dimasukkan dalam proyek pengembangan SIDJP. Hal ini barangkali terkait scope pengembangan sistem informasi dari perencana IS yang memang tidak/belum mengintegrasikan fungsi-fungsi IS yang sudah ada. Akibatnya penerapan IS masih belum terintegrasi. Saat ini ada upaya untuk membuat interface antar sistem informasi tersebut dan penggabungan server PBB dan Data Center DJP.

Fase implementasi atas instalasi IS SIDJP adalah parallel strategy. Pada tahap awal modernisasi administrasi, KPP mengimplementasikan SIPMod menggantikan SIP, kemudian menginstal SIDJP. KPP adalah unit kerja yang memberikan pelayanan publik, oleh karena itu sistem informasi harus tetap running. Strategy parallel dipilih karena modernisasi dilakukan secara bertahap dan membutuhkan persiapan infrastruktur yang besar dan cukup komplek. Akibatnya adalah "kelelahan" dari tim pelaksana pengembang sistem dan pengguna sistem itu sendiri.

Selain memiliki keunggulan sebagaimana SAPT yaitu adanya work flow dan case management, SIDJP juga memiliki kelemahan yaitu ketika beban kerja tinggi maka kinerja SIDJP menjadi lamban atau bahkan 'hang'. Padahal SIDJP baru diterapkan dibeberapa KPP, apalagi jika seluruh KPP dan unit vertikal lainnya menerapkan. Salah satu penyebabnya adalah SIDJP tersentralisasi di Kantor Pusat DJP.

Migrasi Data. Terdapat masalah migrasi data atas perubahan sistem lama yaitu SIPMod ke SIDJP. Data pada SIDJP tidak dapat diakses oleh sistem baru. Setelah tanggal "cut-off", sistem informasi SIDJP hanya dapat mengolah data atas data yang telah di-entry pada SIDJP. SIDJP tidak dapat melakukan data mining pada database sistem lama. Kesimpulan tentative, terdapat kegagalan migrasi data.

Untuk kepentingan intensifikasi WP, data (spt dan detail laporan keuangan, dan data lainnya) pada SIPMod sebenarnya lebih powerful dibanding data pada SIDJP. Dalam hal ini memang terdapat perbedaan rancangan data dua IS tersebut.

Inefisiensi pemrosesan data. Selain itu, masih terdapat inefisiensi dalam pemrosesan data. Masih terdapat redundancy pengolahan data: WP: isi data spt,->Petugas->melakukan input tetapi terbatas,->Intensifikasi dan Pemeriksaan: data diinput ulang dalam proses analisis karena tidak dapat dilakukan oleh SIDJP. Pekerjaan yang sama ini dilakukan oleh semua KPP. Dalam hal ini sebenarnya telah ada rencana pembangunan Data Processing Center di beberapa lokasi di Indonesia. DPC akan melakukan data processing bagi KPP-KPP yang ada dalam wilayah tugasnya. Data yang dihasilkan nantinya berupa image dan data yang telah diolah. Proses pelaksanaan processing data dilakukan oleh tenaga alih daya (outsource) dibawah pengawasan struktur. Diharapkan nantinya pemrosesan data akan lebih efisien dan KPP fokus pada pelayanan, pengawasan formal dan materiil pelaksanaan kewajiban perpajakan WP (tax compliance). Peran DPC akan sangat membantu efisiensi proses bisnis karena sebagian besar pelaporan WP masih dalam bentuk hard copy.

Salah satu benefit modernisasi administrasi adalah paperless. e-SPT memungkinkan untuk hal ini karena SPT disampaikan dalam bentuk soft copy. Problem lebih banyak disisi WP, bisa jadi menjadi tambahan pekerjaan, karena masing-masing WP memiliki sistem informasi akuntansi dan pajak yang berbeda. Sehingga WP harus melakukan penyesuaian terhadap kewajiban e-SPT. Dari sisi KPP sangat membantu dalam pemrosesan data.

Transfer of knowledge. Untuk mengoperasikan SIDJP tidak terdapat masalah. Namun untuk melakukan pengembangan SIDJP lebih lanjut sulit.


Saran

  1. Dalam pengembangan IS perlu diprioritaskan masalah integrasi IS. Hal ini perlu dilakukan untuk mendukung efisiensi dan efektifitas aktivitas proses bisnis DJP.
  2. Perlu membuat kesepakatan eksplisit dengan vendor untuk melakukan transfer knowledge dan hal lainnya terkait pengembangan IS.
  3. Perlunya change management selaras dengan perencanaan proyek (IS). Pelatihan yang lebih komprehensive tentang bagaimana menggunakan sistem baru dan bagaimana melakukan proses bisnis yang baru.

Referensi

E. Wainright Martin Et Al., Managing Information Technology, 5th edition, Prentice Hall,
2005, New Jersey.

http://www.klikpajak.com/artikel/artikel.php?article id=5646, diunduh 12-08-2008, Djazoeli Sadhani - Mantan Sekditjen Pajak: "Menuju Good Governance Melalui Modernisasi Pajak", Bisnis Indonesia, Senin 23 Mei 2005.

Bahan Sosialisasi Modernisasi KP DJP, Tim Modernisasi DJP, Nov 2006, Jakarta



Sabtu, 23 Agustus 2008

Corporate Tax Planning - Sunset Policy

Pasal 37A UU No 28 Tahun 2007 memberikan pengampunan pajak. Bagi wajib pajak badan diberikan policy khusus berupa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi bunga atas kurang bayar PPh Badan melalui mekanisme pembetulan SPT Tahunan untuk tahun pajak sebelum 2007. Perlu diketahui, sanksi bunga adalah 2% per bulan dihitung dari tanggal terutang sampai dengan pelunasan.
Misal untuk SPT PPh Badan tahun pajak 2005, maka harus dilunasi 25 Maret 2006. Ternyata direvisi dan kurang bayar Rp 1 M, dilunasi setelah lewat kebijakan sunset policy, maka bunganya +/-50% sendiri. (berlaku juga untuk Orang Pribadi). buruan daftar...dari pada diaudit, bisa mabuk. tata caranya ada di Peraturan MenKeu No. 66/PMK.03/2008 bisa didownload di link..

Jumat, 22 Agustus 2008

CORPORATE TAX PLANNING - avoid dividend tax I

Dividen dikenakan tarif 15% dari bruto dan tidak final. Maksud dari tidak final adalah pajak yang dipotong dapat dikreditkan dan jumlah bruto dividen akan ditambahkan dengan penghasilan kena pajak (pkp) lainnya, sehingga bila jumlah pkp telah mencapai lapisan tarif pph pasal 17 yang lebih tinggi maka akan terdapat tambahan pph yang harus disetor lagi ke kas negara atas dividen tersebut.
Bagaimana menghindari pajak dividen?

Ada ketentuan yg menurut aku aneh atau mungkin maksudnya insentif, dan bisa dijadikan alat untuk bebas dari pajak dividen. Bisa jadi para pengusaha melakukan "gimmick" pada level administrasi dengan memanfaatkan jasa notaris. Ketentuan itu ada di pasal 4 ayat 3 UU PPh, dividen yang diterima PT, Koperasi, BUMN/D termasuk bukan objek pajak dengan syarat:
  • dividen dari cadangan laba ditahan, dan
  • kepemilikan pada badan yang memberikan dividen minimal 25% ,dan
  • memiliki usaha aktif.
Usaha aktif, macam2 bentuknya boleh foto copy, laundry...?

Dengan memenuhi persyaratan tersebut di atas maka dividen yang diterima tidak akan dikenakan pajak karena memang bukan objek pajak untuk kondisi tersebut di atas. Sangat mudah menghidari pajak...

Selasa, 12 Agustus 2008

CORPORATE TAX PLANNING - pengantar

ada dua istilah yang sering dibahas berkaitan dengan tax planning yaitu tax avoidance dan tax evasion. tax avoidance itu ngeles dari kewajiban pajak dengan cara tidak melanggar hukum (formal dan materiil), dengan cara memanfaatkan celah hukum pajak baik lokal atau international. sedangkan tax evasion itu memang menggelapkan pajak. lalu ada istilah aggresive tax planning.

tax planning itu sendiri hanya bagian dari strategic planning perusahaan dalam meningkatkan firm value. kalau ada yang berpendapat bahwa tax planning itu bertujuan mengecilkan pajak maka perusahaan tidak usah meningkatkan penjualannya-->sales kecil->laba kecil->pajak kecil. tapi dalam bisnis ternyata tidak demikian. perusahaan harus beradaptasi dan tumbuh agar tetap bertahan. jadi seharusnya tujuan dari tax planning itu adalah mengoptimumkan pajak. caranya? yang paling jelas ya memanfaatkan semua fasilitas perpajakan yang telah disediakan pemerintah. tapi intensif pajak ternyata hanya salah satu dari banyak faktor stimulus bisnis. kesimpulan tentative, adalah tidak mudah mengoptimumkan Rp 1,00 dari tax planning. pertimbankan cost and benefit, dan juga resiko bisnis dari penerapan tax planning.

Rabu, 28 Mei 2008

CORPORATE TAX PLANNING - income shifting



Berikut aku coba jelaskan tax scheme suatu korporasi dari hasil analisis suatu kasus yang pernah aku jumpai dilapangan.

Parent company PT E memiliki banyak subsidiary. Urusan pajak ditangani oleh staf di corporate. PT A memiliki rugi dengan akumulasi Rp 20 M. PT B memperoleh penghasilan sebelum pajak Rp 10 M. Dua kondisi finansial ini dimanfaatkan dengan baik oleh staf pajak dilevel korporasi yaitu melakukan income shifting melalui transaksi jasa manajemen senilai Rp 5 M.

Bagi subsidiary A, penghasilan Rp 5 M dari jasa manajemen tersebut tidak akan berpengaruh terhadap PPh pasal 25 Badan karena akumulasi rugi masih jauh lebih besar. Bisa jadi untuk memanfaatkan kompensasi rugi tahun sebelumnya yang memang akan berakhir karena sudah 5 tahun.

Bagi subsidiary B, jasa manajemen tersebut merupakan biaya dan tax deductible. Kewajiban B hanya melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas jasa manajemen. Misal tarif efektif jasa manajemen tersebut sebesar 6% maka jumlah yang disetor ke kas negara adalah Rp 300 juta. B juga dapat melakukan pengkreditan atas pajak masukan senilai Rp 500 juta (10% x Rp 5 M). Biaya jasa manajemen Rp 5 M tersebut dapat digunakan untuk melakukan tax saving senilai Rp 1,5M (yaitu tarif tertinggi pasal 17 PPh x beban jasa manajemen).

Jika transaksi di atas benar maka uang yang dikeluarkan sebenarnya hanya Rp 300 juta dari PPh 23 dan Rp 500 juta dari PPN. Untuk PPN Rp 500 juta dapat dikreditkan, dan jika lebih bayar maka dapat dimintakan restitusi.

Mengapa hal tersebut di atas bisa terjadi? Dalam aturan pajak, anak perusahaan/subsidiaries itu dipandang sebagai entitas perpajakan sendiri terpisah dari induknya. Kewajiban pajaknya terpisah dengan induk. Oleh karena itu untuk tujuan pajak, penghasilan dan beban anak perusahaan tidak dikonsolidasikan. Berbeda dengan akuntansi yang membuat konsolidasi laporan keuangan. (pengertian anak dan cabang baik menurut akuntansi dan pajak beda).

Pertanyaan pertama, bagaimana menilai kewajaran transaksi jasa manajemen tsb? apakah transaksi tsb bisa dikategorikan transfer pricing?

Pertanyaan kedua, bagaimana cara membuktikan bahwa substansi transaksi antar subsidiary itu benar adanya? kontrak, faktur, bukti transfer fee jasa manajemen, ssp itu kan bukti di atas kertas ...mudah bikinnya...Ada prinsip yang dianut dalam akuntansi yaitu substance over form. Substansi dari suatu transaksi /event itu jauh lebih penting daripada legalitas formalnya.

Kamis, 22 Mei 2008

CORPORATE TAX PLANNING - spread denda dengan return investasi

Terdapat peraturan yang mengatur batas waktu penyetoran pajak dan pelaporan pajak untuk masing-masing jenis pajak berikut sanksinya. Sanksi terlambat lapor sangat mudah untuk dihindari, lapor saja...isinya bisa nihil dulu, or kurang bayar dulu. Namun penyetoran pajak ke bank persepsi bisa diatur waktunya, yaitu pada tanggal jatuh tempo atau malah memilih terlambat menyetorkan.
Idenya adalah maksimum sanksi denda untuk kurang atau terlambat menyetorkan pajak adalah 2% per bulan. Kalo memang ada dananya, misal alokasi dana PPh Pasal 25 atau cash pajak yang berasal dari withholding tax, yaitu memotong/memungut pajak dari pihak lain maka cash pajak ini dapat diinvestasikan dahulu untuk mendapatkan return. Bentuk investasi ini beragam, misal forex trading, reksa dana, dll. Jika rate of return dari investasi (netto setelah transaction cost) lebih besar dari rate denda keterlambatan setor 2% sebulan...maka akan diperoleh gain.
Apakah hal ini mengurangi kesempatan menjadi wp patuh? sepertinya tidak...karena aturan wp patuh lebih menitikberatkan pada pelaporan spt, pidana, tunggakan pajak, audit dgn opini unquaified. berani coba...

koala - advertising

koala - advertising