Kamis, 23 Oktober 2008

Pokok-Pokok Perubahan PPN / PPn BM

Usulan Perubahan Terhadap Beberapa Ketentuan PPN / PPn BM


Pendahuluan
Saat ini DPR sedang membahas usulan perubahan yang diajukan pemerintah terhadap UU PPN/PPn BM No.8/1983 s.t.d.t. dengan UU PPN/PPn BM No.18/2000. Prinsisp-prinsip yang mendasari usulan perubahan antara lain (1) Memberikan kepastian hukum (2) Menyederhanakan sistem PPN (3) Mengurangi biaya kepatuhan (4)Meningkatkan kepatuhan
Paper ini membahas usulan perubahan sebatas pada ketentuan PPN yang telah ditetapkan bukan terhadap RUU PPN yang telah diajukan pemerintah, misalnya usul penyetoran kembali PM Masukan oleh Pengusaha yang gagal produksi, penggunaan prinsip accrual untuk Pajak Keluaran dan cash basis untuk Pajak Masukan, dll.

Pembahasan
1. PPN atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud seharusnya sama dengan PPN atas ekspor BKP yaitu sebesar 0%.
PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu, barang dan jasa yang tidak dikonsumsi di dalam Daerah Pabean Indonesia seharusnya tidak dikenakan PPN dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Ekspor Barang Kena Pajak telah dikenakan tarif 0%. Salah satu tujuannya adalah untuk mendorong kegiatan ekspor BKP. Hal ini, seharusnya berlaku juga untuk Jasa Kena Pajak dan BKP Tidak Berwujud yang dimanfaatkan diluar Daerah Pabean Indonesia (ekspor) sehingga tarif PPN ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud 0%. Rasional lainnya adalah agar terdapat kepastian dan konsistensi perlakuan PPN terhadap Pajak Masukan atas perolehan JKP tersebut yaitu agar dapat dikreditkan untuk kemudian dilakukan kompensasi atau restitusi jika terdapat kelebihan bayar PPN. Untuk mendorong ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud dan menambah daya saing.
Memang sangat sulit bagi petugas pajak untuk menentukan dan memastikan bahwa JKP tersebut dimanfaatkan diluar Daerah Pabean Indonesia. Karena proses produksi JKP dapat dilakukan di dalam DPI. Dan biasanya antara proses produksi JKP dan pemanfaatannya terjadi secara bersamaan, sifat khusus yang dimiliki jasa dibanding barang.
Untuk meminimalisasi celah pajak yang dapat digunakan untuk tujuan manipulasi pajak, maka pengenaan PPN 0% atas ekspor JKP sebaiknya dilakukan dengan cara membuat pengelompokkan jenis jasa. Ada jasa yang memang saat dilakukannya dan saat pemanfaatannya terjadi secara bersamaan dan tidak dapat dipisahkan oleh border maka PPN ekspor 0% dikenakan bila JKP dilakukan dan dimanfaatkan di luar DPI. Untuk jasa yang saat dilakukannya dan pemanfaatannya dapat dipisahkan oleh border maka PPN 0% dikenakan walaupun JKP dilakukan di dalam Daerah Pabean Indonesia. Contoh jasa jenis kedua adalah Jasa Call Center yang dilakukan di Indonesia tetapi untuk memenuhi konsumsi luar negeri, Jasa Makloon (PKP yang menghasilkan dan melakukan ekspor BKP atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean)

2. Retur PPN Jasa
Retur jasa belum diatur dalam UU PPN. PPN atas penyerahan JKP yang tidak sepenuhnya dilakukan tetapi sudah sepenuhnya dipungut seharusnya dapat dikembalikan. Alasan perubahan adalah agar paralel dengan perlakuan retur BKP.

3. Perlakuan PPN atas jasa keuangan syariah seharusnya diperlakukan sama dengan jasa keuangan non-syariah. Jasa keuangan meliputi jasa perbankan dan jasa keuangan lainnya. (lebih spesifik murabahah)
Kasus yang diperdebatkan adalah transaksi murabahah. Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah (memiliki dahulu) kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase. Jika seseorang melakukan penjualan komoditi/barang dengan harga lump sum tanpa memberi tahu berapa nilai pokoknya, maka bukan termasuk murabahah, walaupun ia juga mengambil keuntungan dari penjualan tersebut. Penjualan ini disebut musawamah.
Murabahah adalah salah produk terlaris dan andalan dari perbankan syariah. Data menunjukkan bahwa transaksi perbankan syariah tidak kurang dari Rp21,920 triliun dengan komposisi terbesarnya adalah murabahah yakni Rp13,340 triliun atau sebayak 60,86 persen (Republika, 4/2 sebagaimana dikutip Nursanita Nasution)
Transaksi dengan skema murabahah masih dikenakan PPN yaitu ketika bank membeli asset dari supplier dan ketika bank menjual asset tersebut kepada nasabahnya. Bila bank syariah adalah PKP maka akan terdapat mekanisme PK-PM. Sebenarnya tidak terjadi pengenaan pajak berganda, yang ada adalah tambahan PPN kepada nasabah karena value added (yaitu margin keuntungan) oleh bank syariah. Sehingga secara total PPN yang harus dibayar nasabah menjadi lebih besar dibanding dengan skema pembiayaan oleh perbankan konvensional dengan penetapan keuntungan melalui bunga.
Dengan pertimbangan bahwa baik perbankan syariah dan perbankan konvesional merupakan institusi intermediary maka seharusnya terdapat perlakuan yang sama yaitu tidak ada PPN atas bunga dan margin atas produk fungsi intermediary. (bunga diperoleh bank non-syariah, margin keuntungan diperoleh bank syariah).
Pemberlakuan hanya satu kali pajak dalam pembiayaan syariah telah dilakukan oleh banyak negara lain, contohnya. Amerika Serikat, yang secara langsung melakukan legal adjustment (penyesuaian hukum) terhadap masalah ini, melalui Office of the Comptroller of the Currency (OOC ), sebagai pemilik otoritas yang bertanggung jawab mengatur urusan moneter di negara itu, langsung mengeluarkan dua Interpretative Letters, yakni No 806 dan 867 yang berisi tentang transaksi murabahah dan ijarah, dengan catatan tertentu dapat dikecualikan dari ketentuan yang disebutkan pada National Bank Act 1864 tersebut. (Shirley Chiu and Robin Newberger, 2006 sebagaimana dikutip Nursanita Nasution). National Bank Act of 1864 di Amerika Serikat secara tegas melarang industri perbankan melakukan transaksi jual beli. Hal ini jelas merupakan hambatan utama bagi perbankan Islam. Dan ternyata perkembangannnya adalah perbankan Islam menjadi sangat diminati, terutama dalam program home financing. Ini karena praktik itu jauh lebih baik dibandingkan dengan melalui skim mortgage yang konvensional. Demikian juga dengan Singapura dan Inggris yang telah menghapus pajak atas transaksi murabahah dan ijarah.
Seharusnya Indonesia juga membebaskan PPN atas transaksi murabahah sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara maju dengan membuat ketentuan khusus (lex specialis). Pertimbangan utama adalah untuk pengembangan ekonomi syariah, menarik investor, dan mayoritas penduduk adalah muslim.

4. Penyerahan BKP dalam rangka penggabungan usaha (merger) seharusnya tidak dikenakan PPN
Merger adalah penggabungan usaha dari dua badan usaha atau lebih dengan tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan membubarkan badan usaha lainnya yang menggabung.
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka penggabungan usaha menurut ketentuan UU PPN saat ini terutang PPN. Hal ini bertujuan untuk membantu cash flow perusahaan, kemudahan administrasi, dan mendorong Pengusaha untuk bergabung untuk memperbaiki kinerja perusahaan, dan masih terdapat kesinambungan kegiatan usaha dari perusahaan yang lama ke perusahaan yang baru. Pembebasan PPN ini dilakukan sepanjang pihak-pihak yang melakukan penggabungan usaha (merger) adalah Pengusaha Kena Pajak.

5. Menghapus kata “dapat dikreditkan” yang menjadi syarat pemungutan dalam ketentuan sbb:
Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. (Pasal 16D), dan
Persediaan BKP dan aktiva yg menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.

sehingga semua penyerahan tersebut di atas dikenakan PPN baik PPN pada saat pembelian dipungut maupun tidak dan dapat dikreditkan maupun tidak. Rasionalnya adalah pada prinsipnya semua barang adalah BKP, termasuk barang yang atas pembeliannya tidak membayar PPN, sehingga atas penjualannya dikenakan PPN. Pengenaan PPN untuk menagih kembali PM yang telah dikreditkan tidak relevan lagi. Hal ini dilakukan untuk memperluas objek PPN.

6. Pengkreditan Pajak Masukan
PM yang dapat dikreditkan harus memenuhi syarat formal dan material. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan manipulasi pajak yaitu terdapat bukti formal pembayaran PPN tetapi sebenarnya tidak ada transaksi penyerahan BKP/JKP, dan mencegah penggunaan faktur pajak fiktif.

7. Beberapa fasilitas PPN dan PPn BM yang saat ini telah diberikan, ketentuan ini seharusnya masuk dalam UU PP, seperti:
1. PPN dan PPn BM dibebaskan bagi perwakilan negara asing (timbal balik)
2. impor barang-barang yg berdasarkan UU Kepabeanan dibebaskan dari Bea Masuk,
3. Impor dan penyerahan BKP dan JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai bantuan LN.
4. Impor sementara
Alasan perubahan adalah memberikan dasar hukum dan kepastian hukum bagi fasilitas-fasilitas yang telah dan yang akan diberikan.



Referensi

UU PPN/PPn BM No.8/1983 s.t.d.t. dengan UU PPN/PPn BM No.18/2000 dan peraturan pelaksanaannya
http://id.wikipedia.org/wiki/Murabahah
http://www.pk-sejahtera.org/, Nursanita Nasution, Pajak Berganda, Masalah Yang Tidak Tuntas Dalam UU Perbankan Syariah,

koala - advertising

koala - advertising